Baiklah.
Pada tulisanku sebelumnya aku sempat menyebut
Spiritual Review dan Mahkamah Perenungan. Akan terbesit dalam pikiran kalian
bahwa istilah ini aku ambil dari frasa Judicial Review dan Mahkamah Kontitusi. Memang
benar, hehe. Isitilah ini aku dapati secara spontan kala menulis tulisan sebelumnya,
di mana yang aku maksud dengan Spiritual Review adalah sebuah upaya penggalian
tak berkesudahan pengalaman-pengalaman hidup yang kemudian diolah menjadi bahan
pokok pengalaman spiritual yang unik dan warna-warni. Lebih singkatnya, kita
mencoba meresapi pengalaman hidup kita agar menjadi pengalaman spiritual. Mengenai
Mahkamah Perenungan sepertinya tak perlu ada yang dijabarkan secara rinci kecuali
tentang bagaimana aku memandang keadaan merenung layaknya berada di dalam sebuah
ruangan yang berisi para majelis hakim dan para pihak terkait yang kesemuanya
adalah diriku sendiri.
Lagi, mengenai Spiritual Review. Kalau kita
cermati dengan seksama, aku menekankan maksudku pada dua hal: Pengalaman Hidup
dan Pengalaman Spiritual. Pengalaman hidup ini adalah sebuah hasil pemrosesan panca
indra kita setiap harinya, bagaimana kita menjangkau hal-hal materi. Sedangkan
pengalaman spiritual adalah bagaimana kita mengalami dan –seolah-olah—
menjangkau hal-hal yang tak tampak. Keduanya saling mempengaruhi karena selalu
bertubrukan dalam keadaan yang unik dan sangat pribadi. Hidup kita akan menjadi
berbeda-beda dalam tempo yang tak tentu akibat keadaan spiritual yang terus
meruncing karena secara terus-menerus ‘diserut’ dalam Mahkamah Perenungan. Dari
sini maka sudah jelas, bahwa ketika kita melakukan Spiritual Review, visi-misi
hidup kita akan mengerucut menuju satu-satunya awal dan akhir: Tuhan.
Memang, bahasa kata kadang tak cukup mampu
menjelaskan, tapi kurang lebihnya begitu.
Sepatutnya manusia, aku banyak mengalami perubahan-perubahan.
Entah cara pandang, pikir ataupun tindak. Kerap kali arahnya tak tentu dan
mengherankan. Contohnya, bagimana aku menentukan menjadi apa diriku di masa
depan. Kadang kok kayaknya aku pengen
jadi orang kaya raya, tajir melintir. Tapi besoknya, kok kayaknya jadi orang kaya itu meresahkan dan mengancam.
Besoknya lagi, sepertinya mending
jadi orang yang tidak miskin dan tidak kaya raya, tapi cukup kaya saja. Tapi
tunggu dulu. Ternyata aku melihat orang yang sederhana itu hidupnya
membahagiakan. Motto hidupnya ya tidak jauh-jauh dari “yang penting cukup".
Mungkin karena mengukur dari banyak aspek tingkah-laku diriku, sepertinya
menjadi orang sederhana ini adalah ‘hasil yang paling mungkin’ aku dapatkan.
Lalu, pada suatu waktu ketika lagi asyik berselancar di dunia maya, aku melihat
orang-orang yang sedang makan makanan yang kelihatannya nikmat sekali.
Ah, aku suka sekali makanan.
Lidahku tak hentinya mencoba menebak
bahan-bahan masakannya, hidungku kewalahan membayangkan bagaimana aroma makanan
itu, tapi dengan tak berdaya perutku hanya sanggup bergetar-getar sedimikian
rupa seakan sedang memohon agar makanan dunia maya itu bisa segera dihadirkan.
Sudah barang tentu aku punya pikiran agar bisa secepatnya mencicipi makanan
nikmat tersebut, tapi ketika melihat harga makanannya, aku dengan segera ingat
bahwa dompetku telah melayangkan ‘mosi tidak percaya’ kepadaku karena tak
tertib mengisinya dengan uang, melainkan harapan palsu. Aku pikir-pikir kalau
dilihat dari nafsuku pada makanan seperti ini, setidaknya aku harus jadi orang
yang ‘selalu siap uang ketika tiba-tiba ingin makan enak dan mahal’. Dan orang
tipe ini bisa dibilang masuk ke dalam golongan orang kaya. Maka, jadilah
keinginanku menjadi kaya kembali lagi. Begitu saja terus tak habis-habis.
Setidak-tidaknya itu hanya bagimana
pergolakan batinku pada hal ‘mau jadi apa aku nanti’. Hal yang masih
mengawang-ngawang. Hal yang masih belum terjadi dan hendak aku jadikan. Hal
yang meskipun misalnya sudah aku tetapkan dengan mantap, belum pasti akan
menjadi kenyataan. Bagaimana dengan hal-hal lainnya? Bagaimana dengan keluarga,
lingkungan, agama, politik, pendidikan, organisasi, ekonomi, asmara dan hal-hal
lainnya yang hidup bersama kita secara langsung, yang secara real-time kita hadapi pada setiap
tarikan nafas? Berapa banyak pergumulan pengalaman kita pada hal-hal tadi?
Manusia terus mencari hakikat. Itu yang aku
dapatkan dari perenunganku. Dalam setiap pengalaman hidupku, dalam setiap
benturannya, aku selalu mencoba mencari kebeneran. Mencari tahu di mana letak
salahnya dan meninggalkannya jauh-jauh. Menduga-duga apa alasan sehingga itu
benar atau salah. Kita tanpa henti selalu menimbang-nimbang dan seakan-akan
sedang bertaruh tentang apakah ini benar – apakah ini salah. Tapi itu semua hanya seolah-olah, karena tidak ada kebenaran objektif.
Dalam proses pencarian kita, kita akan
menemukan paradoks-paradoks yang tak masuk akal dan di luar nalar. Tiba-tiba itu
terjadi, tiba-tiba ini terjadi. Pemahaman dan pemihakkan kita pada satu hal
akan berubah-ubah. Misal, kita telah menemukan bahwa seorang pemimpin haruslah
tegas, jujur dan berani. Lalu kemudian, nampaknya kita telah menemukan sosok
yang sesuai kriteria tadi. Tiba-tiba sang sosok pemimpin tadi malah terjerat
kasus penistaan agama, karena mungkin kombinasi tegas, jujur dan berani malah memuluskan
jalannya kepada ‘khilaf’. Akhirnya kita mengganti lagi kriteria seorang
pemimpin yang ideal itu. Kali ini dia haruslah seorang yang bersahaja, merakyat
dan anti-korupsi. Tiba-tiba sang sosok terbongkar kasus perselingkuhannya
dengan wanita lain. Merenunglah kita. Pada akhirnya kita akan melihat bahwa
semua manusia pasti punya kekurangan, dan tidak pantas untuk dituntut sempurna.
Seorang pemimpin (birokrat) di masa Demokrasi ini sesungguhnya hanyalah panglima
administratif untuk keteraturan masyarakat. Pula, yang perlu diingat, pemimpin
kita adalah hasil kerja-kerja politik. Kecuali kita tidak waras, mustinya kita
tidak bisa berharap agar para politikus menjelma sebagai titisan malaikat.
Lagi-lagi ini bukan hanya bagimana kita
melihat ke luar saja, akan tetapi bagaimana kita melihat ke dalam, ke diri kita
sendiri. Jika kita tak pantas menuntut orang lain agar berlebihan kelebihan,
maka kita secara rendah hati juga tak boleh mengharapkan diri kita menjadi
manusia yang melebihi kapasitas alami kita. Kapasitas alami kita itu apa? Ya
menjadi manusia. Bukan nabi, bukan rasul, bukan malaikat, bukan setan, bukan
iblis, bukan jin, apalagi Tuhan. Pengalaman spiritual kita nantinya akan
menjadi pelangi di mana hanya kita yang tahu sususan warnanya. Benar-benar
pribadi, intim dan eksklusif.
Ketika aku hendak melukis pelangi spiritual
milikku untuk ditunjukkan pada orang lain, niscaya susunan warna yang tampak bagi mereka adalah tetap
me-ji-ku-hi-bi-ni-u, meski warna aslinya, misal, ku-ni-ji-u-hi-bi-me, karena
terbatasnya bahasa lukisan dan bahasa warna. Perlu bahasa penunjang lain untuk menggambarkan
bagaimana ‘rasa’ spiritualku kepada orang selain diriku. Entah bahasa
musik, bahasa puisi, bahasa kata, bahasa tari, dll. Oleh sebab itu, mungkin
ini alasan para bijaksana mengatakan bahwa manusia itu unik dan tak
terbandingkan. Karena yang pantas membandingkan manusia hanyalah Sang Maha
Pembanding sendiri saja, sebab hanya Ia yang tahu ujung kuku sampai ujung
rambut manusia.
Menengok ke dalam diri adalah aktivitas Spiritual Review yang
paling susah, karena di Mahkamah Perenungan, yang mana semua pihaknya adalah
diriku sendiri, aku akan dengan susah payah membela kepentingan pribadiku, yang
kemudian disaat yang bersamaan aku juga harus mencecar diriku dengan pertanyaan
yang memberatkan, seperti:
“mengapa saudara tinggi hati ketika melihat
tukang sapu di jalan?”
“mengapa saudara membenci koruptor yang
adalah sesama manusia dan tempat Tuhan bersemayam?”
“apakah saudara mengakui perbuatan saudara,
yaitu bahwa saudara telah memuat racun pada pujian sanjungan untuk teman
saudara kemarin malam?”
“tarikan nafas saudara; apakah untuk Tuhan
atau menghindari kematian badan?”
Spiritual Review akan membuat kita jengah
dan payah, menyadari banyak hal dan memperbaikinya. Untuk menyadari banyak hal
maka kita perlu perendahan diri dihadapan Sang Maha Besar. Untuk memperbaiki banyak
hal kita harus mengikuti pedoman Sang Maha Baik. Jadi, ujung ke ujung Spiritual
Review adalah ke Tuhan jua. Oleh karena itulah aku menyebutnya dengan Spiritual,
karena Tuhan tidak bisa ditangkap dengan indera manusia, sedangkan kita hidup di
dunia manusia yang meterialistis, sehingga kontradiktif dengan Ketuhanan itu
sendiri. Secara praktis, hal ini membuat manusia sesungguhnya makhluk yang
banyak kekurangan, sehingga harus bersyukur dan disyukuri. Ya, kekurangan
manusia yang ‘terjebak’ dalam dunia materil patut disyukuri. Alasannya akan kuulas
di tulisan berikutnya. Hehe.
Alasan mengapa aku mau membahas hal ini
adalah karena aku mau mengajak kita semua untuk mau bareng-bareng merasakan keindahan
Tuhan. Aku mau mengajak kita semua untuk keluar dari kurungan materialistik.
Aku mau memantik keluar komponen ekstra kehidupan yang selama ini jarang kita
pakai atau tak sadar bahwa ia ada, yang telah Tuhan persiapkan sejak awal.
Ialah Rasa; yang bergejolak lewat hati dan pikiran, saling tarik menarik
sehingga longgarannya membentuk kebaikan, kebenaran, dan keindahan.