Saintho Valentino's

Personal Blog



Baiklah.

Pada tulisanku sebelumnya aku sempat menyebut Spiritual Review dan Mahkamah Perenungan. Akan terbesit dalam pikiran kalian bahwa istilah ini aku ambil dari frasa Judicial Review dan Mahkamah Kontitusi. Memang benar, hehe. Isitilah ini aku dapati secara spontan kala menulis tulisan sebelumnya, di mana yang aku maksud dengan Spiritual Review adalah sebuah upaya penggalian tak berkesudahan pengalaman-pengalaman hidup yang kemudian diolah menjadi bahan pokok pengalaman spiritual yang unik dan warna-warni. Lebih singkatnya, kita mencoba meresapi pengalaman hidup kita agar menjadi pengalaman spiritual. Mengenai Mahkamah Perenungan sepertinya tak perlu ada yang dijabarkan secara rinci kecuali tentang bagaimana aku memandang keadaan merenung layaknya berada di dalam sebuah ruangan yang berisi para majelis hakim dan para pihak terkait yang kesemuanya adalah diriku sendiri.

Lagi, mengenai Spiritual Review. Kalau kita cermati dengan seksama, aku menekankan maksudku pada dua hal: Pengalaman Hidup dan Pengalaman Spiritual. Pengalaman hidup ini adalah sebuah hasil pemrosesan panca indra kita setiap harinya, bagaimana kita menjangkau hal-hal materi. Sedangkan pengalaman spiritual adalah bagaimana kita mengalami dan –seolah-olah— menjangkau hal-hal yang tak tampak. Keduanya saling mempengaruhi karena selalu bertubrukan dalam keadaan yang unik dan sangat pribadi. Hidup kita akan menjadi berbeda-beda dalam tempo yang tak tentu akibat keadaan spiritual yang terus meruncing karena secara terus-menerus ‘diserut’ dalam Mahkamah Perenungan. Dari sini maka sudah jelas, bahwa ketika kita melakukan Spiritual Review, visi-misi hidup kita akan mengerucut menuju satu-satunya awal dan akhir: Tuhan.

Memang, bahasa kata kadang tak cukup mampu menjelaskan, tapi kurang lebihnya begitu.

Sepatutnya manusia, aku banyak mengalami perubahan-perubahan. Entah cara pandang, pikir ataupun tindak. Kerap kali arahnya tak tentu dan mengherankan. Contohnya, bagimana aku menentukan menjadi apa diriku di masa depan. Kadang kok kayaknya aku pengen jadi orang kaya raya, tajir melintir. Tapi besoknya, kok kayaknya jadi orang kaya itu meresahkan dan mengancam. Besoknya lagi, sepertinya mending jadi orang yang tidak miskin dan tidak kaya raya, tapi cukup kaya saja. Tapi tunggu dulu. Ternyata aku melihat orang yang sederhana itu hidupnya membahagiakan. Motto hidupnya ya tidak jauh-jauh dari “yang penting cukup". Mungkin karena mengukur dari banyak aspek tingkah-laku diriku, sepertinya menjadi orang sederhana ini adalah ‘hasil yang paling mungkin’ aku dapatkan. Lalu, pada suatu waktu ketika lagi asyik berselancar di dunia maya, aku melihat orang-orang yang sedang makan makanan yang kelihatannya nikmat sekali.

Ah, aku suka sekali makanan.

Lidahku tak hentinya mencoba menebak bahan-bahan masakannya, hidungku kewalahan membayangkan bagaimana aroma makanan itu, tapi dengan tak berdaya perutku hanya sanggup bergetar-getar sedimikian rupa seakan sedang memohon agar makanan dunia maya itu bisa segera dihadirkan. Sudah barang tentu aku punya pikiran agar bisa secepatnya mencicipi makanan nikmat tersebut, tapi ketika melihat harga makanannya, aku dengan segera ingat bahwa dompetku telah melayangkan ‘mosi tidak percaya’ kepadaku karena tak tertib mengisinya dengan uang, melainkan harapan palsu. Aku pikir-pikir kalau dilihat dari nafsuku pada makanan seperti ini, setidaknya aku harus jadi orang yang ‘selalu siap uang ketika tiba-tiba ingin makan enak dan mahal’. Dan orang tipe ini bisa dibilang masuk ke dalam golongan orang kaya. Maka, jadilah keinginanku menjadi kaya kembali lagi. Begitu saja terus tak habis-habis.

Setidak-tidaknya itu hanya bagimana pergolakan batinku pada hal ‘mau jadi apa aku nanti’. Hal yang masih mengawang-ngawang. Hal yang masih belum terjadi dan hendak aku jadikan. Hal yang meskipun misalnya sudah aku tetapkan dengan mantap, belum pasti akan menjadi kenyataan. Bagaimana dengan hal-hal lainnya? Bagaimana dengan keluarga, lingkungan, agama, politik, pendidikan, organisasi, ekonomi, asmara dan hal-hal lainnya yang hidup bersama kita secara langsung, yang secara real-time kita hadapi pada setiap tarikan nafas? Berapa banyak pergumulan pengalaman kita pada hal-hal tadi?

Manusia terus mencari hakikat. Itu yang aku dapatkan dari perenunganku. Dalam setiap pengalaman hidupku, dalam setiap benturannya, aku selalu mencoba mencari kebeneran. Mencari tahu di mana letak salahnya dan meninggalkannya jauh-jauh. Menduga-duga apa alasan sehingga itu benar atau salah. Kita tanpa henti selalu menimbang-nimbang dan seakan-akan sedang bertaruh tentang apakah ini benar – apakah ini salah. Tapi itu semua hanya seolah-olah, karena tidak ada kebenaran objektif.

Dalam proses pencarian kita, kita akan menemukan paradoks-paradoks yang tak masuk akal dan di luar nalar. Tiba-tiba itu terjadi, tiba-tiba ini terjadi. Pemahaman dan pemihakkan kita pada satu hal akan berubah-ubah. Misal, kita telah menemukan bahwa seorang pemimpin haruslah tegas, jujur dan berani. Lalu kemudian, nampaknya kita telah menemukan sosok yang sesuai kriteria tadi. Tiba-tiba sang sosok pemimpin tadi malah terjerat kasus penistaan agama, karena mungkin kombinasi tegas, jujur dan berani malah memuluskan jalannya kepada ‘khilaf’. Akhirnya kita mengganti lagi kriteria seorang pemimpin yang ideal itu. Kali ini dia haruslah seorang yang bersahaja, merakyat dan anti-korupsi. Tiba-tiba sang sosok terbongkar kasus perselingkuhannya dengan wanita lain. Merenunglah kita. Pada akhirnya kita akan melihat bahwa semua manusia pasti punya kekurangan, dan tidak pantas untuk dituntut sempurna. Seorang pemimpin (birokrat) di masa Demokrasi ini sesungguhnya hanyalah panglima administratif untuk keteraturan masyarakat. Pula, yang perlu diingat, pemimpin kita adalah hasil kerja-kerja politik. Kecuali kita tidak waras, mustinya kita tidak bisa berharap agar para politikus menjelma sebagai titisan malaikat.

Lagi-lagi ini bukan hanya bagimana kita melihat ke luar saja, akan tetapi bagaimana kita melihat ke dalam, ke diri kita sendiri. Jika kita tak pantas menuntut orang lain agar berlebihan kelebihan, maka kita secara rendah hati juga tak boleh mengharapkan diri kita menjadi manusia yang melebihi kapasitas alami kita. Kapasitas alami kita itu apa? Ya menjadi manusia. Bukan nabi, bukan rasul, bukan malaikat, bukan setan, bukan iblis, bukan jin, apalagi Tuhan. Pengalaman spiritual kita nantinya akan menjadi pelangi di mana hanya kita yang tahu sususan warnanya. Benar-benar pribadi, intim dan eksklusif. 

Ketika aku hendak melukis pelangi spiritual milikku untuk ditunjukkan pada orang lain, niscaya susunan warna yang tampak bagi mereka adalah tetap me-ji-ku-hi-bi-ni-u, meski warna aslinya, misal, ku-ni-ji-u-hi-bi-me, karena terbatasnya bahasa lukisan dan bahasa warna. Perlu bahasa penunjang lain untuk menggambarkan bagaimana ‘rasa’ spiritualku kepada orang selain diriku. Entah bahasa musik, bahasa puisi, bahasa kata, bahasa tari, dll. Oleh sebab itu, mungkin ini alasan para bijaksana mengatakan bahwa manusia itu unik dan tak terbandingkan. Karena yang pantas membandingkan manusia hanyalah Sang Maha Pembanding sendiri saja, sebab hanya Ia yang tahu ujung kuku sampai ujung rambut manusia. 

Menengok ke dalam diri adalah aktivitas Spiritual Review yang paling susah, karena di Mahkamah Perenungan, yang mana semua pihaknya adalah diriku sendiri, aku akan dengan susah payah membela kepentingan pribadiku, yang kemudian disaat yang bersamaan aku juga harus mencecar diriku dengan pertanyaan yang memberatkan, seperti:
“mengapa saudara tinggi hati ketika melihat tukang sapu di jalan?”
“mengapa saudara membenci koruptor yang adalah sesama manusia dan tempat Tuhan bersemayam?”
“apakah saudara mengakui perbuatan saudara, yaitu bahwa saudara telah memuat racun pada pujian sanjungan untuk teman saudara kemarin malam?”
“tarikan nafas saudara; apakah untuk Tuhan atau menghindari kematian badan?”

Spiritual Review akan membuat kita jengah dan payah, menyadari banyak hal dan memperbaikinya. Untuk menyadari banyak hal maka kita perlu perendahan diri dihadapan Sang Maha Besar. Untuk memperbaiki banyak hal kita harus mengikuti pedoman Sang Maha Baik. Jadi, ujung ke ujung Spiritual Review adalah ke Tuhan jua. Oleh karena itulah aku menyebutnya dengan Spiritual, karena Tuhan tidak bisa ditangkap dengan indera manusia, sedangkan kita hidup di dunia manusia yang meterialistis, sehingga kontradiktif dengan Ketuhanan itu sendiri. Secara praktis, hal ini membuat manusia sesungguhnya makhluk yang banyak kekurangan, sehingga harus bersyukur dan disyukuri. Ya, kekurangan manusia yang ‘terjebak’ dalam dunia materil patut disyukuri. Alasannya akan kuulas di tulisan berikutnya. Hehe.

Alasan mengapa aku mau membahas hal ini adalah karena aku mau mengajak kita semua untuk mau bareng-bareng merasakan keindahan Tuhan. Aku mau mengajak kita semua untuk keluar dari kurungan materialistik. Aku mau memantik keluar komponen ekstra kehidupan yang selama ini jarang kita pakai atau tak sadar bahwa ia ada, yang telah Tuhan persiapkan sejak awal. Ialah Rasa; yang bergejolak lewat hati dan pikiran, saling tarik menarik sehingga longgarannya membentuk kebaikan, kebenaran, dan keindahan.



Gimana ya. Waktu Part 1 ditulis, itu aku berada didalam masa sebelum pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Tapi sekarang sudah lewat jauh, hehe. Malah sekarang udah mau Pilkada serentak lagi.
Waktu aku nulis Pilkada Jakarta itu sebenarnya aku mau memberikan pandanganku kedepannya bagaimana kemungkinan besar akan terjadinya putaran kedua, lalu masalah penistaan agama yang tampaknya punya andil cukup besar dalam Pilkada yang paling banyak ‘ditonton’ masyarakat Indonesia kala itu. Bagaimana tidak, ketika Pilkada SERENTAK 2017 dilaksanakan, semua mata tertuju pada dinamika yang terjadi di Jakarta. Media menggoreng-goreng berita sampai krispi diluar dan lembut didalam tentang para Paslon. Tak sampai situ saja. Bahkan pendukungnya pun ikut-ikutan berinisiatif saling kukus-mengukus, rebus-merebus dan panggang-memanggang berita. Padahal Pilkada serentak gelombang kedua pada tanggal 15 Februari 2017 itu diikuti 101 daerah. Tujuh diantaranya adalah pemilihan kepala daerah provinsi. Bukankah semua daerah itu sama pentingya bagi Bangsa ini?  Sungguh aneh kita. Tapi kayaknya sudah menjadi klise kalau aku mau membahas itu semua lagi. Mungkin kali ini aku akan membahas bagaimana kita bersikap terhadap fenomena-fenomena yang diakibatkan Pilkada ini.

Pak Anies-Sandi adalah pelayan Jakarta yang dipilih untuk lima tahun kedepan. Dalam tulisanku sebelumnya aku menyebut mereka sebagai duo CePu (Cendikiawan-Pengusaha). Duo yang sangat ideal sepertinya. Cendikiawan adalah yang masyarakat butuhkan untuk menjaga tata kehidupan masyarakat Jakarta yang warna-warni. Pengusaha tentu sangat berguna pengalaman dan pengetahuannya dalam pembangunan (bukan proyek lho ya) infrastruktur dan masyarakat. Tapi aku memberi peringatan. Bagaimanapun ia dulunya, ketika masuk ke ranah politik maka hanya Tuhan dan --pimpinan-- partai yang tahu isi hati dan pikirannya. Juga aku mewanti-wanti bagi barangsiapa yang telah berkompromi dengan Partai Politik maka wajib dipertanyakan maksud dan tujuan termurninya.
Pada bulan Juni 2018 nanti, akan diselenggarakan Pilkada serentak lagi. Tapi, ya tidak jauh-jauh dari pembahasan diawal tentang ‘tontonan massal’ Pilkada Jakarta. Pun dari banyaknya daerah yang akan melakukan Pilkada 2018, hanya Pilkada trio Jawa-lah yang selalu hangat dibahas.

Oh Pulau Jawaku, tak hentinya kau berselancar di kobaran api.

Pilkada tahun ini sangat beragam dan gado-gado. Paslonnya juga ibarat menu makanan, ada yang paket regular sampai paket spesial. Mengenai dinamikanya, aku tak terlalu mengikuti. Mungkin kuota kebodohanku sewaktu mantengin kasus penistaan agama tahun lalu sudah banyak habis terpakai, sampe-sampe aku seperti sudah tidak gairah lagi mengikuti perkembangan Pilkada tahun ini.

Hehe. Kuota kebodohan.

Ehm, gimana ya. Setelah aku melakukan Spritual Review ke Mahkamah Perenungan, kudapati ternyata gonjang-ganjing Pilkada Jakarta itu hanya menghabis-habiskan waktu saja. Jujur, bagiku semua yang terlibat dalam fenomena kasus penistaan agama kemarin itu sama-sama salah, sama-sama benar. Masalahnya adalah kita lupa dengan dua spektrum mendasar berketuhanan kita yang lain; kebaikan dan keindahan. Aku tidak menemukan kebaikan apalagi keindahan dari dinamika Pilkada Jakarta kemarin.

Yang aku simpulkan dari fenomena-fenomena bangsa ini adalah bagaimana ternyata hidup ini amat sangat kompleks, tapi kita dipaksakan mengikuti polemik perpolitikan yang sebenarnya tidak lain hanyalah akting semata (mengenai ini nanti aku akan bahas dalam tulisanku tentang Spiritual Review). Sebagaimana kita juga. Ucapan ‘dunia ini panggung sandiwara’ adalah benar adanya. Kita sedang memainkan peran kita masing-masing. Skrip kehidupan ini telah Tuhan tetapkan, tetapi kita diberi anugerah untuk menjalankan pertunjukkan kita dengan alur hati dan pikiran yang sesuai diri kita. Jadi jangan sia-siakan pandangan dan pikiran kita pada hal yang kelihatan saja, macam politik ini. Coba kita mulai melihat hal-hal yang tak terlihat; menyentuh hal-hal yang tak tersentuh.
Maka dari itu aku menyerukan kepada semua yang membaca tulisan ini agar kita berdoa:
Semoga Pilkada serantak tahun ini bisa tampil beda dengan tidak menggunakan senjata pemecah belah. Semoga masyarakat tetap rukun dengan pilihannya masing-masing. Semoga kita memilih dengan kebaikan hati dan penguasaan pikiran. Semoga pelayan-pelayan yang kita sebut Kepala Daerah dapat melayani masyarakat sebagai tuannya dengan kehati-hatian dan kebijaksanaan. Semoga kita berdemokrasi untuk Tuhan. Amin.





Tanpa Salam.

Ada pilkada, ada politik.
Ada politik, ada uang.
Ada uang, ada.

Cukup sampai disitu kita melihat. Ada uang, ada. Uang itu selalu ada, cara memperolehnya itu yang di-ada-adain. Se-gokil apapun dirimu gak bisa serta merta ngambilin uang negara. Akhirnya dibuatlah sistem ini-itu buat memperoleh uang oleh para elite-silit politik. 
Sebenernya udah males ngomong ginian kali yak... Tapi yang pasti intinya demikian. Kalo gak ketemu maksud aku apa, ya cari lagi. Tuhan kadang suka memainkan penemuan mu. Jadi, keep sabar hehe.

Kali ini aku lagi pengen mencuma-cuma kan kegelisahanku. Aku gelisah ketika melihat para kandidat calon Gubernur Ibu Kota. Maksudku di sini adalah sosoknya, orangnya. 
Keresahanku berawal ketika mengetahui ada yang masih meniti karir ngangkatin senjata ehh malah disuruh nyalon sama Bapak Prihatin Indonesia. Trus, kegelisahanku menjelma resah saat tahu ada yang katanya berjuang pengen jadi anak Indie, sampe buka jasa pengumpulan KTP dimana-mana, ehhh, malah milih diusung ParPol. Trus lagi, ada cendikiawan (dulunya) sama tukang usaha --kata orang-orang mah sebutannya Pengusaha-- yang ikut-ikutan mempercantik diri dengan nyalon. Yang terakhir ini sampe bikin rekor lho: Rekor Titik Panggung Politik  Kampanye terbanyak versi MURI.

Enggak, aku lagi nggak ngejelekin Paslon semuanya itu kok. Aku cuma mencuma-cuma kan kegelisahanku. Kalau aku nggak mencuma-cuma kan hal ini dalam bentuk tulisan, niscaya yang terjadi diotakku pada hari-hari kedepan adalah bagai lantunan Pararararaa-nya lagu Resah by Payung Teduh. Kayak ada sedih-seneng-nggantung nya gitu.

Kenapa aku gelisah melihat hal-hal diatas?
Hmm, dengan pemikiranku yang mendalam cenderung cetek, bahwasanya dengan pengetahuan kita tentang fenomena yang tertulis dalam tiga baris kalimat paling atas tulisan ini, maka dapat disimpulkan: Sebaik-baiknya dirimu bagi dunia, sejahat-jahatnya dunia bagi dirimu; ketika kau nyalon maka kau KOMPROMI.

"Bang potong rambut yak model cepak NGNTD."
"Yah, gak bisa dek, walaupun saya lulusan akademi kang cukur Amerika, tapi saya baru nguasai potongan cepak KNTL doang."
"Oke bang gak papa kalo gitu. Rambut saya udah sepantat nih ribet kalo berak."
"Ya dek, laksanakan."

Kira-kira di atas adalah percakapan yang menggambarkan bagaimana kompromi terjadi.
Jadi, kalo kamu mau nyalon, ya kompromi dulu! Sama siapa? Sama parpol yang nyalon lah!

Lah terus?

Banyak diantara negara-negara saat ini mengedepankan prinsip Zero Compromise / Zero Tolerance dalam menghadapi Terorisme (termasuk Indonesia). Artinya pemerintah akan sama sekali tidak --istilahnya-- deal-deal-an dengan teroris. Sama sekali. Karena jika pemerintah deal-deal-an dengan teroris maka sama aja pemerintah kalah lawan teroris atau bahkan pemerintah teroris itu sendiri. 
Contoh ada kapal laut dibajak, teroris (red- perompak) minta duit tebusan trus kita kasih. Maka kita kalah sekaligus menyebarkan teror, kekalahan adalah teror itu sendiri. Oleh kerenanya dalam upaya menghadapi teroris adalah dengan : Ganyang!

Jadinya seperti ini :
Kau kompromi dengen teroris, kau lah teroris.
Kau kompromi dengan koruptor, kau lah koruptor.

Jadi kawan-kawan begitulah kira-kira kegelisahanku.
Ketika tukang ngangkat senjata, pejuang indie gak jadi, dan CePu (Cendikiawan-Pengusaha) berkompromi, mereka berkompromi pada pihak-pihak yang kita sudah tau betul apa-siapa-bagaimana-nya. Pihak-pihak yang... ahh sudahlah.

Anak-anak mari kita eja:
Pe-a-pa-er pe-o-po-el =  paaaaaaarrrraaaaarrrraaarrraaaarrraaaa


Tapi gak papa. Gak ada yang harus dikhawatirkan. Walau ...................................................... bersambung.


*dilihat dari waktu terbitnya tulisan ini maka saya putuskan untuk : NGANTUK.
lanjut di part 2.









Tanpa Salam.

Waktu menunjukan pukul enam pagi. Sambil menunggu kawan yang masih bercumbu dengan kerjaannya di komputer, aku menunggu dalam diam sambil duduk melihat aktivitas sebuah SMK yang ada tepat di depan warnet ini. Pak satpam mulai menggelar marka pembatas jalan di depan pagar sekolah, karna seiring dengan berjalannya waktu, para siswa akan mulai berdatangan dan berlalu-lalang menyebrang. Satu persatu siswa-siwa itu datang. "Kenapa botak semua ini bocah?" pikirku sadar. Ya, tampaknya semua anak laki-laki di SMK ini memang diwajibkan botak atau karna satu dan lain hal, mereka botak bareng-bareng, entahlah. Ternyata jam masuk sekolah sudah semakin sempit. Banyak di antara siswa-siswi itu mulai berlari kecil dengan harap-harap cemas agar tidak terkena hukuman terlambat. 

Tapi terlambat sudah, jam masuk sekolah sepertinya sudah lewat, jadi siswa yang masih di luar pagar sekolah wajib khawatir akan nasibnya nanti saat melewati pagar besi yang diam itu. Kuperhatikan Pak Guru itu, yang sedari tadi berdiri di dalam sambil menjulurkan tangannya agar disambut dengan raih tangan para siswa yang kemudian mempersembahkan kening mereka untuk menempel dengan sisi hitam tangan Pak Guru. Ritual salim ini mirip dengan yang kualami dulu waktu di SMA. Pak Guru mulai teriak. Teriakannya cukup untuk membuat para siswa itu mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan jika mereka tetap ngotot mau masuk sekolah; jalan jongkok sampai masuk halaman sekolah. Satu-persatu mereka mulai menekuk lutut mereka, menyisakan sedikit jarak antara pantat dan tanah kemudian dengan segala ekspresi takut, senyam-senyum, nahan boker dan segalanya itu, mereka mulai bergerak maju, jalan. Ada yang menarik. Disaat genting itu berjalanlah duo botak yang tampaknya sudah terbiasa dengan keadaan macam ini. Selaw, itu yang ada di pikiranku saat melihat dua makhluk ini. Tepat sebelum mereka melewati pagar, tampak salah satu dari mereka seakan berkata pada yang satu lainnya "It's too late, bro". Terlihat tidak setuju dengan perkataan temannya, lalu dia membalas dengan tampang mantap meyakinkan "No, man, we can to this". Terjadi cekcok di antara mereka berdua hingga akhirnya sebuah keputusan sulit telah mereka dapatkan; berpisah. Sebuah awal yang buruk untuk memulai pagi. Yang satu masuk lalu jalan jongkok ke dalam sambil tampak murung membayangkan bagaimana rasanya tidur waktu belajar tanpa ada yang membangunkan ketika guru mulai sadar ada yang tidur, yang satu pergi melawan bayang-bayang menyakitkan akan bagaimana rasanya nogkrong sendiri tanpa teman seperjuangan.

Jam masuk sekolah sepertinya sudah terlewat jauh. Dari yang tadi sampai segerombolan siswa yang jalan jongkok, sekarang terlihat hanya satu dua saja yang berjuang meneruskan nasib. Tiba-tiba, hadir dari arah kiri sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang Ibu yang membawa dua anaknya. Bak' rider MotoGP masuk Pit Stop, motor tersebut berhenti tepat di depan pagar sekolah. Di belakang duduklah anak laki-laki itu dengan botaknya, dan tanpa ragu aku dapat menebak bahwa anak ini adalah salah satu siswa sekolah tersebut. Di antara dua kaki sang Ibu, duduklah seorang anak perempuan kecil yang tampaknya masih belum mengerti sesengit apa sebenarnya situasi pagi ini. Tampak lesu anak botak itu turun dari motor. Sang Ibu langsung saja menyodorkan tangan bermaksud agar si anak salim, mungkin sambil berkata "Go son, go!". Setelah menyambut tangan ibunya, entah kenapa anak itu tak lekas pergi. "What the fuck are you doing bro? Run for your life!" pikirku kesal. Seakan mendapat bisikan angin, dengan tergesa-gesa sang Ibu menyuruh putri kecilnya yang tak tau apa-apa itu untuk turun dari motor. Layaknya Team Crew MotoGP, langsung saja sang Ibu dengan lincah membuka bagasi motornya, mengambil entah apa itu.

"Oh minta duit..." ucapku seiring dengan terkuaknya misteri sang anak yang tak kunjung mau pergi tersebut. Ternyata anak itu tak lupa meminta ongkos agar setidaknya survive dari hingar-bingar jajanan sekolah, dan sang Ibu ternyata ingin mengambil dompet yang terkubur dalam bagasi motor. Anak itu langsung masuk kedalam, melewati pagar, kemudian jongkok dan jalan, di depan Ibu dan adik kecilnya. Entah apa yang ada di dalam pikiran sang Ibu, bukannya ikut bersedih akan nasib anaknya, ia malah ketawa-ketawa kecil dan diakhiri senyum lebar. Lucu memang, melihat anak-anak itu jalan jongkok dengan kepala botaknya, dan mungkin inilah yang membuat sang Ibu tertawa, begitu juga denganku. Lalu, sambil memastikan sang anak sudah selamat sampai tujuan dan tidak diapa-apakan, sang Ibu pergi berlalu, melanjutkan perjalanan dengan motor yang terlihat sudah lama sekali ada di bumi ini.

Sesaat setelah Ibu dan anak itu pergi, aku kayak me-review ulang apa sebenarnya yang barusan terjadi. Hawa pagi itu seakan menggodaku untuk mencoba meresapi seluruh makna, sambil mejatuhkan air mata.

Tuhan emang Maha Asyik. Dari kejadian sang Ibu tersebut aku bisa melihat bagaimana susahnya menjadi seorang Ibu. Aku bayangi lagi gimana ekspresi Ibu itu yang tampak buru-buru mengambil dompet untuk memberi jajan anaknya. Saking buru-burunya, itu dompet sempet sampe jatoh, yang akhirnya bikin keadaan makin genting, tapi demi sang anak beliau rela ngambil tuh dompet trus menyisir lembaran uang di dalamnya. Tapi dengan tampang kesel anak itu seakan menyalahkan ibunya yang seolah-olah memperparah keterlambatannya. "Kenapa naro dompet di jok sih?" "Kenapa pake segala jatoh tuh dompet, mah-mah, elah", mungkin itu yang ada di hati si anak melihat kejadian tersebut. Tapi itulah Ibu, selalu memberikan yang terbaik bagi anaknya. Bahkan beliau masih ketawa ngeliat anaknya pas jalan jongkok, bahkan beliau masih nunggu anaknya dah bener-bener masuk sekolah dengan senyum-senyum kecil. Tapi sepanjang jalan menuju masuk sekolah mungkin anak itu masih terus menyalahkan sang Ibu atas apa yang sudah semua Ibu itu lakukan tadi. Padahal aku yakin Ibu itu ingin melakukan yang terbaik.

Sebenarnya, apa yang mungkin ada di pikiran anak itu adalah pikiranku sendiri, atau mungkin kita semua sebagai anak yang kadang kurang ajar sama orang tua, hehe.

Lalu kisah si duo botak juga tak kalah mengharukan. Kehidupan pertemanan kadang kayak apa yang digambarkan si duo botak. Mau se-soulmate apapun kita berteman, ada aja yang bikin kita pisah, terutama dalam menentukan perjalan hidup. Ada yang mau kesono, ada yang mau kesini, kesitu dan seterusnya, sampe mencar masing-masing. Gak ada yang bisa disalahkan memang. Namanya juga manusia, manusia itu terus mencari. Kadang kita mau ngejalanin ini semua bareng-bareng tapi hati maunya sendiri. Tapi, akhir-akhirnya tetep aja kita sebenernya hanya orang-orang yang bakal rindu ikatan yang udah pernah ada, sekusut apapun itu. Hal-hal kayak gini berlaku sih buat semua hubungan, mau pacaran, temenan, sahabatan bahkan pernikahan. Padahal raga udah pisah, terhalang bangunan dan pepohonan, tapi tetep kita adalah manusia yang rindu akan yang pernah ada.

Ada lagi yang mau aku bahas sebenernya, tentang realita pendidikan kita. Mulai dari jam masuk aja misal. Aku dulu SMA masuk jam 6.30 pagi, dan ternyata ini adalah jam masuk sekolah paling pagi di seluruh dunia, katanya. Tapi emang bener, masuk sekolah kepagian itu bisa bikin siswa stress duluan. Blom ngebayangin belajar ama guru killer, ini dah disuruh jalan jongkok kalo telat, gimana gak stress coba? 

Btw, itulah aku.
Aku suka memperhatikan hal-hal kecil kayak gini, karna aku percaya segala hal yang ada di dunia ini bisa dijadiin pelajaran. Dan pengalamanku di atas itu bener-bener membuat pagiku saat itu terasa terlalu hangat untuk air mata bertemu pipi.
Tsahhhh


 Tanpa Salam.

Pertama kali aku ada niatan buat nulis adalah saat  aku baca bukunya @shitlicious. Entah kenapa aku suka aja dengan cerita doi dalam bukunya yang berjudul Skripshit itu.
Terus pada suatu ketika aku baca blog-nya dan ada satu post-an dia yang bilang kurang lebih gini :
 "Jadi, Buku ShitLicious nggak dibuat dalam waktu singkat. Iya, berawal dari minat gue yang bawaannya suka cerita, gue jadi suka nyeritain apapun yang gue alami setiap saat kepada orang2 sekitar. Karena hobby itulah, gue jadi demen buat nulis. Karena apa? karena kalo kita cerita secara lisan, suatu saat orang bisa aja lupa ama apa yang udah kita bicarakan sebelumnya. Tapi kalo kita mau menuliskan cerita kita, orang nggak bakal lupa karena mereka pasti memperhatikan setiap detail tulisan kita."

Lalu aku jadi teringat dengan kata-kata salah satu penyair kenaamaan Indonesia; Pramoedya Ananta Toer, beliau bersabda dalam bukunya "Bumi Manusia", yang bunyinya :
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." 

WEW! Menulis adalah bekerja untuk kebadian...
Apa sebenarnya maksud kata-kata ini?
Apakah maksudnya ketika kita menulis maka kita enggak bisa mati gitu?

Emm.. ini mungkin, tapi menurutku maksud kata-kata itu adalah bahwa mbah Pram menyadari betul kalau kita adalah makhluk yang fana, dan pada saatnya nanti kita terkubur dalam tanah, tubuh kita pun akan hancur, tapi tidak dengan tulisan di BATU NISAN!
Aha! Iya, pada hakekatnya tulisan di batu nisan akan abadi bukan? Tapi masuk agak dalam ke bawah, ternyata terdapat proses pembusukan tubuh kita menuju kehancuran. (Ia akan hilang didalam masyarakat)
Bahkan ketika 10 sampai 20 tahun (atau selamanya?)  kedepan tulisan-tulisan itu masih terpampang nyata dalam batu nisan. Dan secara tidak langsung kita telah mencetak sejarah kita sendiri bahwa kita pernah dan telah mati di tempat ini pada tanggal ini, dst.

Heuheueheu
Jangan panas dalam dulu baca tulisan di atas ya...

Mbah Pram memang benar, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Kenapa bekerja? karena dalam prosesnya kita menulis, kita mengeluarkan cukup banyak tenaga dan pikiran.
Nah... inilah keabadian yang kita cari; pemikiran.

Contoh nyata dari keabadian pemikiran yang ditulis adalah mbah Pram itu sendiri. Karya-karya beliau sampai sekarang masih hidup dalam masyarakat. Lebih dari 50 karya telah dihasilkan oleh beliau dan bahkan menurut wikipedia karya-karya tersebut telah diterjemahkan dalam 41 bahasa.

Benar kata bang Alit aka @shitlicious, buah pemikiran yang kita tuangkan dalam bentuk lisan akan mudah untuk terlupakan. Artinya kalo misal ada orang ngomong tentang sesuatu dan karna satu dan lain hal kita lupa akan kata-kata orang tersebut, maka kemungkinan untuk kita bisa tau secara detail kata-kata tersebut dengan berusaha mengingatnya sangat kecil. Atau bahkan ketika kita ingin mendengar lagi kata-kata tersebut dari orangnya langsung juga banyak batu kerikilnya, misal dia udah mati. Jadi, hilang sudah pemikiran cemerlang dari orang tersebut.

Tapi, ketika negara api menyerang pun, tulisan tetap abadi.
Bener, Socrates aja yang gak pernah menghasilkan karya tulisan buktinya masih tetap hidup dalam masyarakat berkat tulisan murid-muridnya, di mana salah satunya adalah Plato.
Artinya, tulisan Plato-lah yang membuat Socrates ada sampai sekarang. Socrates yang lahir 470 SM ini ternyata namanya serta pemikirannya masih ada dalam kehidupan masyarakat, bahkan akhirnya kutulis dalam artikel ini di tahun 2016 | 470 SM - 2016 = lama -- abadi.


Yhaaa..
Pada intinya aku seneng nulis. Di samping itu aku juga seneng baca. Tapi, tidak jarang juga aku tertarik untuk mendengar. Maka dari itu aku memulai mbikin blog ini untuk sekedar menuangkan apa-apa saja pengalaman yang telah aku tulis, baca dan dengar dalam bentuk tulisan, karna;
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.