Saintho Valentino's

Personal Blog

Spiritual Review

Leave a Comment



Baiklah.

Pada tulisanku sebelumnya aku sempat menyebut Spiritual Review dan Mahkamah Perenungan. Akan terbesit dalam pikiran kalian bahwa istilah ini aku ambil dari frasa Judicial Review dan Mahkamah Kontitusi. Memang benar, hehe. Isitilah ini aku dapati secara spontan kala menulis tulisan sebelumnya, di mana yang aku maksud dengan Spiritual Review adalah sebuah upaya penggalian tak berkesudahan pengalaman-pengalaman hidup yang kemudian diolah menjadi bahan pokok pengalaman spiritual yang unik dan warna-warni. Lebih singkatnya, kita mencoba meresapi pengalaman hidup kita agar menjadi pengalaman spiritual. Mengenai Mahkamah Perenungan sepertinya tak perlu ada yang dijabarkan secara rinci kecuali tentang bagaimana aku memandang keadaan merenung layaknya berada di dalam sebuah ruangan yang berisi para majelis hakim dan para pihak terkait yang kesemuanya adalah diriku sendiri.

Lagi, mengenai Spiritual Review. Kalau kita cermati dengan seksama, aku menekankan maksudku pada dua hal: Pengalaman Hidup dan Pengalaman Spiritual. Pengalaman hidup ini adalah sebuah hasil pemrosesan panca indra kita setiap harinya, bagaimana kita menjangkau hal-hal materi. Sedangkan pengalaman spiritual adalah bagaimana kita mengalami dan –seolah-olah— menjangkau hal-hal yang tak tampak. Keduanya saling mempengaruhi karena selalu bertubrukan dalam keadaan yang unik dan sangat pribadi. Hidup kita akan menjadi berbeda-beda dalam tempo yang tak tentu akibat keadaan spiritual yang terus meruncing karena secara terus-menerus ‘diserut’ dalam Mahkamah Perenungan. Dari sini maka sudah jelas, bahwa ketika kita melakukan Spiritual Review, visi-misi hidup kita akan mengerucut menuju satu-satunya awal dan akhir: Tuhan.

Memang, bahasa kata kadang tak cukup mampu menjelaskan, tapi kurang lebihnya begitu.

Sepatutnya manusia, aku banyak mengalami perubahan-perubahan. Entah cara pandang, pikir ataupun tindak. Kerap kali arahnya tak tentu dan mengherankan. Contohnya, bagimana aku menentukan menjadi apa diriku di masa depan. Kadang kok kayaknya aku pengen jadi orang kaya raya, tajir melintir. Tapi besoknya, kok kayaknya jadi orang kaya itu meresahkan dan mengancam. Besoknya lagi, sepertinya mending jadi orang yang tidak miskin dan tidak kaya raya, tapi cukup kaya saja. Tapi tunggu dulu. Ternyata aku melihat orang yang sederhana itu hidupnya membahagiakan. Motto hidupnya ya tidak jauh-jauh dari “yang penting cukup". Mungkin karena mengukur dari banyak aspek tingkah-laku diriku, sepertinya menjadi orang sederhana ini adalah ‘hasil yang paling mungkin’ aku dapatkan. Lalu, pada suatu waktu ketika lagi asyik berselancar di dunia maya, aku melihat orang-orang yang sedang makan makanan yang kelihatannya nikmat sekali.

Ah, aku suka sekali makanan.

Lidahku tak hentinya mencoba menebak bahan-bahan masakannya, hidungku kewalahan membayangkan bagaimana aroma makanan itu, tapi dengan tak berdaya perutku hanya sanggup bergetar-getar sedimikian rupa seakan sedang memohon agar makanan dunia maya itu bisa segera dihadirkan. Sudah barang tentu aku punya pikiran agar bisa secepatnya mencicipi makanan nikmat tersebut, tapi ketika melihat harga makanannya, aku dengan segera ingat bahwa dompetku telah melayangkan ‘mosi tidak percaya’ kepadaku karena tak tertib mengisinya dengan uang, melainkan harapan palsu. Aku pikir-pikir kalau dilihat dari nafsuku pada makanan seperti ini, setidaknya aku harus jadi orang yang ‘selalu siap uang ketika tiba-tiba ingin makan enak dan mahal’. Dan orang tipe ini bisa dibilang masuk ke dalam golongan orang kaya. Maka, jadilah keinginanku menjadi kaya kembali lagi. Begitu saja terus tak habis-habis.

Setidak-tidaknya itu hanya bagimana pergolakan batinku pada hal ‘mau jadi apa aku nanti’. Hal yang masih mengawang-ngawang. Hal yang masih belum terjadi dan hendak aku jadikan. Hal yang meskipun misalnya sudah aku tetapkan dengan mantap, belum pasti akan menjadi kenyataan. Bagaimana dengan hal-hal lainnya? Bagaimana dengan keluarga, lingkungan, agama, politik, pendidikan, organisasi, ekonomi, asmara dan hal-hal lainnya yang hidup bersama kita secara langsung, yang secara real-time kita hadapi pada setiap tarikan nafas? Berapa banyak pergumulan pengalaman kita pada hal-hal tadi?

Manusia terus mencari hakikat. Itu yang aku dapatkan dari perenunganku. Dalam setiap pengalaman hidupku, dalam setiap benturannya, aku selalu mencoba mencari kebeneran. Mencari tahu di mana letak salahnya dan meninggalkannya jauh-jauh. Menduga-duga apa alasan sehingga itu benar atau salah. Kita tanpa henti selalu menimbang-nimbang dan seakan-akan sedang bertaruh tentang apakah ini benar – apakah ini salah. Tapi itu semua hanya seolah-olah, karena tidak ada kebenaran objektif.

Dalam proses pencarian kita, kita akan menemukan paradoks-paradoks yang tak masuk akal dan di luar nalar. Tiba-tiba itu terjadi, tiba-tiba ini terjadi. Pemahaman dan pemihakkan kita pada satu hal akan berubah-ubah. Misal, kita telah menemukan bahwa seorang pemimpin haruslah tegas, jujur dan berani. Lalu kemudian, nampaknya kita telah menemukan sosok yang sesuai kriteria tadi. Tiba-tiba sang sosok pemimpin tadi malah terjerat kasus penistaan agama, karena mungkin kombinasi tegas, jujur dan berani malah memuluskan jalannya kepada ‘khilaf’. Akhirnya kita mengganti lagi kriteria seorang pemimpin yang ideal itu. Kali ini dia haruslah seorang yang bersahaja, merakyat dan anti-korupsi. Tiba-tiba sang sosok terbongkar kasus perselingkuhannya dengan wanita lain. Merenunglah kita. Pada akhirnya kita akan melihat bahwa semua manusia pasti punya kekurangan, dan tidak pantas untuk dituntut sempurna. Seorang pemimpin (birokrat) di masa Demokrasi ini sesungguhnya hanyalah panglima administratif untuk keteraturan masyarakat. Pula, yang perlu diingat, pemimpin kita adalah hasil kerja-kerja politik. Kecuali kita tidak waras, mustinya kita tidak bisa berharap agar para politikus menjelma sebagai titisan malaikat.

Lagi-lagi ini bukan hanya bagimana kita melihat ke luar saja, akan tetapi bagaimana kita melihat ke dalam, ke diri kita sendiri. Jika kita tak pantas menuntut orang lain agar berlebihan kelebihan, maka kita secara rendah hati juga tak boleh mengharapkan diri kita menjadi manusia yang melebihi kapasitas alami kita. Kapasitas alami kita itu apa? Ya menjadi manusia. Bukan nabi, bukan rasul, bukan malaikat, bukan setan, bukan iblis, bukan jin, apalagi Tuhan. Pengalaman spiritual kita nantinya akan menjadi pelangi di mana hanya kita yang tahu sususan warnanya. Benar-benar pribadi, intim dan eksklusif. 

Ketika aku hendak melukis pelangi spiritual milikku untuk ditunjukkan pada orang lain, niscaya susunan warna yang tampak bagi mereka adalah tetap me-ji-ku-hi-bi-ni-u, meski warna aslinya, misal, ku-ni-ji-u-hi-bi-me, karena terbatasnya bahasa lukisan dan bahasa warna. Perlu bahasa penunjang lain untuk menggambarkan bagaimana ‘rasa’ spiritualku kepada orang selain diriku. Entah bahasa musik, bahasa puisi, bahasa kata, bahasa tari, dll. Oleh sebab itu, mungkin ini alasan para bijaksana mengatakan bahwa manusia itu unik dan tak terbandingkan. Karena yang pantas membandingkan manusia hanyalah Sang Maha Pembanding sendiri saja, sebab hanya Ia yang tahu ujung kuku sampai ujung rambut manusia. 

Menengok ke dalam diri adalah aktivitas Spiritual Review yang paling susah, karena di Mahkamah Perenungan, yang mana semua pihaknya adalah diriku sendiri, aku akan dengan susah payah membela kepentingan pribadiku, yang kemudian disaat yang bersamaan aku juga harus mencecar diriku dengan pertanyaan yang memberatkan, seperti:
“mengapa saudara tinggi hati ketika melihat tukang sapu di jalan?”
“mengapa saudara membenci koruptor yang adalah sesama manusia dan tempat Tuhan bersemayam?”
“apakah saudara mengakui perbuatan saudara, yaitu bahwa saudara telah memuat racun pada pujian sanjungan untuk teman saudara kemarin malam?”
“tarikan nafas saudara; apakah untuk Tuhan atau menghindari kematian badan?”

Spiritual Review akan membuat kita jengah dan payah, menyadari banyak hal dan memperbaikinya. Untuk menyadari banyak hal maka kita perlu perendahan diri dihadapan Sang Maha Besar. Untuk memperbaiki banyak hal kita harus mengikuti pedoman Sang Maha Baik. Jadi, ujung ke ujung Spiritual Review adalah ke Tuhan jua. Oleh karena itulah aku menyebutnya dengan Spiritual, karena Tuhan tidak bisa ditangkap dengan indera manusia, sedangkan kita hidup di dunia manusia yang meterialistis, sehingga kontradiktif dengan Ketuhanan itu sendiri. Secara praktis, hal ini membuat manusia sesungguhnya makhluk yang banyak kekurangan, sehingga harus bersyukur dan disyukuri. Ya, kekurangan manusia yang ‘terjebak’ dalam dunia materil patut disyukuri. Alasannya akan kuulas di tulisan berikutnya. Hehe.

Alasan mengapa aku mau membahas hal ini adalah karena aku mau mengajak kita semua untuk mau bareng-bareng merasakan keindahan Tuhan. Aku mau mengajak kita semua untuk keluar dari kurungan materialistik. Aku mau memantik keluar komponen ekstra kehidupan yang selama ini jarang kita pakai atau tak sadar bahwa ia ada, yang telah Tuhan persiapkan sejak awal. Ialah Rasa; yang bergejolak lewat hati dan pikiran, saling tarik menarik sehingga longgarannya membentuk kebaikan, kebenaran, dan keindahan.

Previous PostOlder Post Home

0 komentar:

Post a Comment