Saintho Valentino's

Personal Blog

Pagi itu Terlalu Hangat

2 comments


Tanpa Salam.

Waktu menunjukan pukul enam pagi. Sambil menunggu kawan yang masih bercumbu dengan kerjaannya di komputer, aku menunggu dalam diam sambil duduk melihat aktivitas sebuah SMK yang ada tepat di depan warnet ini. Pak satpam mulai menggelar marka pembatas jalan di depan pagar sekolah, karna seiring dengan berjalannya waktu, para siswa akan mulai berdatangan dan berlalu-lalang menyebrang. Satu persatu siswa-siwa itu datang. "Kenapa botak semua ini bocah?" pikirku sadar. Ya, tampaknya semua anak laki-laki di SMK ini memang diwajibkan botak atau karna satu dan lain hal, mereka botak bareng-bareng, entahlah. Ternyata jam masuk sekolah sudah semakin sempit. Banyak di antara siswa-siswi itu mulai berlari kecil dengan harap-harap cemas agar tidak terkena hukuman terlambat. 

Tapi terlambat sudah, jam masuk sekolah sepertinya sudah lewat, jadi siswa yang masih di luar pagar sekolah wajib khawatir akan nasibnya nanti saat melewati pagar besi yang diam itu. Kuperhatikan Pak Guru itu, yang sedari tadi berdiri di dalam sambil menjulurkan tangannya agar disambut dengan raih tangan para siswa yang kemudian mempersembahkan kening mereka untuk menempel dengan sisi hitam tangan Pak Guru. Ritual salim ini mirip dengan yang kualami dulu waktu di SMA. Pak Guru mulai teriak. Teriakannya cukup untuk membuat para siswa itu mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan jika mereka tetap ngotot mau masuk sekolah; jalan jongkok sampai masuk halaman sekolah. Satu-persatu mereka mulai menekuk lutut mereka, menyisakan sedikit jarak antara pantat dan tanah kemudian dengan segala ekspresi takut, senyam-senyum, nahan boker dan segalanya itu, mereka mulai bergerak maju, jalan. Ada yang menarik. Disaat genting itu berjalanlah duo botak yang tampaknya sudah terbiasa dengan keadaan macam ini. Selaw, itu yang ada di pikiranku saat melihat dua makhluk ini. Tepat sebelum mereka melewati pagar, tampak salah satu dari mereka seakan berkata pada yang satu lainnya "It's too late, bro". Terlihat tidak setuju dengan perkataan temannya, lalu dia membalas dengan tampang mantap meyakinkan "No, man, we can to this". Terjadi cekcok di antara mereka berdua hingga akhirnya sebuah keputusan sulit telah mereka dapatkan; berpisah. Sebuah awal yang buruk untuk memulai pagi. Yang satu masuk lalu jalan jongkok ke dalam sambil tampak murung membayangkan bagaimana rasanya tidur waktu belajar tanpa ada yang membangunkan ketika guru mulai sadar ada yang tidur, yang satu pergi melawan bayang-bayang menyakitkan akan bagaimana rasanya nogkrong sendiri tanpa teman seperjuangan.

Jam masuk sekolah sepertinya sudah terlewat jauh. Dari yang tadi sampai segerombolan siswa yang jalan jongkok, sekarang terlihat hanya satu dua saja yang berjuang meneruskan nasib. Tiba-tiba, hadir dari arah kiri sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang Ibu yang membawa dua anaknya. Bak' rider MotoGP masuk Pit Stop, motor tersebut berhenti tepat di depan pagar sekolah. Di belakang duduklah anak laki-laki itu dengan botaknya, dan tanpa ragu aku dapat menebak bahwa anak ini adalah salah satu siswa sekolah tersebut. Di antara dua kaki sang Ibu, duduklah seorang anak perempuan kecil yang tampaknya masih belum mengerti sesengit apa sebenarnya situasi pagi ini. Tampak lesu anak botak itu turun dari motor. Sang Ibu langsung saja menyodorkan tangan bermaksud agar si anak salim, mungkin sambil berkata "Go son, go!". Setelah menyambut tangan ibunya, entah kenapa anak itu tak lekas pergi. "What the fuck are you doing bro? Run for your life!" pikirku kesal. Seakan mendapat bisikan angin, dengan tergesa-gesa sang Ibu menyuruh putri kecilnya yang tak tau apa-apa itu untuk turun dari motor. Layaknya Team Crew MotoGP, langsung saja sang Ibu dengan lincah membuka bagasi motornya, mengambil entah apa itu.

"Oh minta duit..." ucapku seiring dengan terkuaknya misteri sang anak yang tak kunjung mau pergi tersebut. Ternyata anak itu tak lupa meminta ongkos agar setidaknya survive dari hingar-bingar jajanan sekolah, dan sang Ibu ternyata ingin mengambil dompet yang terkubur dalam bagasi motor. Anak itu langsung masuk kedalam, melewati pagar, kemudian jongkok dan jalan, di depan Ibu dan adik kecilnya. Entah apa yang ada di dalam pikiran sang Ibu, bukannya ikut bersedih akan nasib anaknya, ia malah ketawa-ketawa kecil dan diakhiri senyum lebar. Lucu memang, melihat anak-anak itu jalan jongkok dengan kepala botaknya, dan mungkin inilah yang membuat sang Ibu tertawa, begitu juga denganku. Lalu, sambil memastikan sang anak sudah selamat sampai tujuan dan tidak diapa-apakan, sang Ibu pergi berlalu, melanjutkan perjalanan dengan motor yang terlihat sudah lama sekali ada di bumi ini.

Sesaat setelah Ibu dan anak itu pergi, aku kayak me-review ulang apa sebenarnya yang barusan terjadi. Hawa pagi itu seakan menggodaku untuk mencoba meresapi seluruh makna, sambil mejatuhkan air mata.

Tuhan emang Maha Asyik. Dari kejadian sang Ibu tersebut aku bisa melihat bagaimana susahnya menjadi seorang Ibu. Aku bayangi lagi gimana ekspresi Ibu itu yang tampak buru-buru mengambil dompet untuk memberi jajan anaknya. Saking buru-burunya, itu dompet sempet sampe jatoh, yang akhirnya bikin keadaan makin genting, tapi demi sang anak beliau rela ngambil tuh dompet trus menyisir lembaran uang di dalamnya. Tapi dengan tampang kesel anak itu seakan menyalahkan ibunya yang seolah-olah memperparah keterlambatannya. "Kenapa naro dompet di jok sih?" "Kenapa pake segala jatoh tuh dompet, mah-mah, elah", mungkin itu yang ada di hati si anak melihat kejadian tersebut. Tapi itulah Ibu, selalu memberikan yang terbaik bagi anaknya. Bahkan beliau masih ketawa ngeliat anaknya pas jalan jongkok, bahkan beliau masih nunggu anaknya dah bener-bener masuk sekolah dengan senyum-senyum kecil. Tapi sepanjang jalan menuju masuk sekolah mungkin anak itu masih terus menyalahkan sang Ibu atas apa yang sudah semua Ibu itu lakukan tadi. Padahal aku yakin Ibu itu ingin melakukan yang terbaik.

Sebenarnya, apa yang mungkin ada di pikiran anak itu adalah pikiranku sendiri, atau mungkin kita semua sebagai anak yang kadang kurang ajar sama orang tua, hehe.

Lalu kisah si duo botak juga tak kalah mengharukan. Kehidupan pertemanan kadang kayak apa yang digambarkan si duo botak. Mau se-soulmate apapun kita berteman, ada aja yang bikin kita pisah, terutama dalam menentukan perjalan hidup. Ada yang mau kesono, ada yang mau kesini, kesitu dan seterusnya, sampe mencar masing-masing. Gak ada yang bisa disalahkan memang. Namanya juga manusia, manusia itu terus mencari. Kadang kita mau ngejalanin ini semua bareng-bareng tapi hati maunya sendiri. Tapi, akhir-akhirnya tetep aja kita sebenernya hanya orang-orang yang bakal rindu ikatan yang udah pernah ada, sekusut apapun itu. Hal-hal kayak gini berlaku sih buat semua hubungan, mau pacaran, temenan, sahabatan bahkan pernikahan. Padahal raga udah pisah, terhalang bangunan dan pepohonan, tapi tetep kita adalah manusia yang rindu akan yang pernah ada.

Ada lagi yang mau aku bahas sebenernya, tentang realita pendidikan kita. Mulai dari jam masuk aja misal. Aku dulu SMA masuk jam 6.30 pagi, dan ternyata ini adalah jam masuk sekolah paling pagi di seluruh dunia, katanya. Tapi emang bener, masuk sekolah kepagian itu bisa bikin siswa stress duluan. Blom ngebayangin belajar ama guru killer, ini dah disuruh jalan jongkok kalo telat, gimana gak stress coba? 

Btw, itulah aku.
Aku suka memperhatikan hal-hal kecil kayak gini, karna aku percaya segala hal yang ada di dunia ini bisa dijadiin pelajaran. Dan pengalamanku di atas itu bener-bener membuat pagiku saat itu terasa terlalu hangat untuk air mata bertemu pipi.
Tsahhhh

Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments: