Saintho Valentino's

Personal Blog


Tanpa Salam.

Waktu menunjukan pukul enam pagi. Sambil menunggu kawan yang masih bercumbu dengan kerjaannya di komputer, aku menunggu dalam diam sambil duduk melihat aktivitas sebuah SMK yang ada tepat di depan warnet ini. Pak satpam mulai menggelar marka pembatas jalan di depan pagar sekolah, karna seiring dengan berjalannya waktu, para siswa akan mulai berdatangan dan berlalu-lalang menyebrang. Satu persatu siswa-siwa itu datang. "Kenapa botak semua ini bocah?" pikirku sadar. Ya, tampaknya semua anak laki-laki di SMK ini memang diwajibkan botak atau karna satu dan lain hal, mereka botak bareng-bareng, entahlah. Ternyata jam masuk sekolah sudah semakin sempit. Banyak di antara siswa-siswi itu mulai berlari kecil dengan harap-harap cemas agar tidak terkena hukuman terlambat. 

Tapi terlambat sudah, jam masuk sekolah sepertinya sudah lewat, jadi siswa yang masih di luar pagar sekolah wajib khawatir akan nasibnya nanti saat melewati pagar besi yang diam itu. Kuperhatikan Pak Guru itu, yang sedari tadi berdiri di dalam sambil menjulurkan tangannya agar disambut dengan raih tangan para siswa yang kemudian mempersembahkan kening mereka untuk menempel dengan sisi hitam tangan Pak Guru. Ritual salim ini mirip dengan yang kualami dulu waktu di SMA. Pak Guru mulai teriak. Teriakannya cukup untuk membuat para siswa itu mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan jika mereka tetap ngotot mau masuk sekolah; jalan jongkok sampai masuk halaman sekolah. Satu-persatu mereka mulai menekuk lutut mereka, menyisakan sedikit jarak antara pantat dan tanah kemudian dengan segala ekspresi takut, senyam-senyum, nahan boker dan segalanya itu, mereka mulai bergerak maju, jalan. Ada yang menarik. Disaat genting itu berjalanlah duo botak yang tampaknya sudah terbiasa dengan keadaan macam ini. Selaw, itu yang ada di pikiranku saat melihat dua makhluk ini. Tepat sebelum mereka melewati pagar, tampak salah satu dari mereka seakan berkata pada yang satu lainnya "It's too late, bro". Terlihat tidak setuju dengan perkataan temannya, lalu dia membalas dengan tampang mantap meyakinkan "No, man, we can to this". Terjadi cekcok di antara mereka berdua hingga akhirnya sebuah keputusan sulit telah mereka dapatkan; berpisah. Sebuah awal yang buruk untuk memulai pagi. Yang satu masuk lalu jalan jongkok ke dalam sambil tampak murung membayangkan bagaimana rasanya tidur waktu belajar tanpa ada yang membangunkan ketika guru mulai sadar ada yang tidur, yang satu pergi melawan bayang-bayang menyakitkan akan bagaimana rasanya nogkrong sendiri tanpa teman seperjuangan.

Jam masuk sekolah sepertinya sudah terlewat jauh. Dari yang tadi sampai segerombolan siswa yang jalan jongkok, sekarang terlihat hanya satu dua saja yang berjuang meneruskan nasib. Tiba-tiba, hadir dari arah kiri sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang Ibu yang membawa dua anaknya. Bak' rider MotoGP masuk Pit Stop, motor tersebut berhenti tepat di depan pagar sekolah. Di belakang duduklah anak laki-laki itu dengan botaknya, dan tanpa ragu aku dapat menebak bahwa anak ini adalah salah satu siswa sekolah tersebut. Di antara dua kaki sang Ibu, duduklah seorang anak perempuan kecil yang tampaknya masih belum mengerti sesengit apa sebenarnya situasi pagi ini. Tampak lesu anak botak itu turun dari motor. Sang Ibu langsung saja menyodorkan tangan bermaksud agar si anak salim, mungkin sambil berkata "Go son, go!". Setelah menyambut tangan ibunya, entah kenapa anak itu tak lekas pergi. "What the fuck are you doing bro? Run for your life!" pikirku kesal. Seakan mendapat bisikan angin, dengan tergesa-gesa sang Ibu menyuruh putri kecilnya yang tak tau apa-apa itu untuk turun dari motor. Layaknya Team Crew MotoGP, langsung saja sang Ibu dengan lincah membuka bagasi motornya, mengambil entah apa itu.

"Oh minta duit..." ucapku seiring dengan terkuaknya misteri sang anak yang tak kunjung mau pergi tersebut. Ternyata anak itu tak lupa meminta ongkos agar setidaknya survive dari hingar-bingar jajanan sekolah, dan sang Ibu ternyata ingin mengambil dompet yang terkubur dalam bagasi motor. Anak itu langsung masuk kedalam, melewati pagar, kemudian jongkok dan jalan, di depan Ibu dan adik kecilnya. Entah apa yang ada di dalam pikiran sang Ibu, bukannya ikut bersedih akan nasib anaknya, ia malah ketawa-ketawa kecil dan diakhiri senyum lebar. Lucu memang, melihat anak-anak itu jalan jongkok dengan kepala botaknya, dan mungkin inilah yang membuat sang Ibu tertawa, begitu juga denganku. Lalu, sambil memastikan sang anak sudah selamat sampai tujuan dan tidak diapa-apakan, sang Ibu pergi berlalu, melanjutkan perjalanan dengan motor yang terlihat sudah lama sekali ada di bumi ini.

Sesaat setelah Ibu dan anak itu pergi, aku kayak me-review ulang apa sebenarnya yang barusan terjadi. Hawa pagi itu seakan menggodaku untuk mencoba meresapi seluruh makna, sambil mejatuhkan air mata.

Tuhan emang Maha Asyik. Dari kejadian sang Ibu tersebut aku bisa melihat bagaimana susahnya menjadi seorang Ibu. Aku bayangi lagi gimana ekspresi Ibu itu yang tampak buru-buru mengambil dompet untuk memberi jajan anaknya. Saking buru-burunya, itu dompet sempet sampe jatoh, yang akhirnya bikin keadaan makin genting, tapi demi sang anak beliau rela ngambil tuh dompet trus menyisir lembaran uang di dalamnya. Tapi dengan tampang kesel anak itu seakan menyalahkan ibunya yang seolah-olah memperparah keterlambatannya. "Kenapa naro dompet di jok sih?" "Kenapa pake segala jatoh tuh dompet, mah-mah, elah", mungkin itu yang ada di hati si anak melihat kejadian tersebut. Tapi itulah Ibu, selalu memberikan yang terbaik bagi anaknya. Bahkan beliau masih ketawa ngeliat anaknya pas jalan jongkok, bahkan beliau masih nunggu anaknya dah bener-bener masuk sekolah dengan senyum-senyum kecil. Tapi sepanjang jalan menuju masuk sekolah mungkin anak itu masih terus menyalahkan sang Ibu atas apa yang sudah semua Ibu itu lakukan tadi. Padahal aku yakin Ibu itu ingin melakukan yang terbaik.

Sebenarnya, apa yang mungkin ada di pikiran anak itu adalah pikiranku sendiri, atau mungkin kita semua sebagai anak yang kadang kurang ajar sama orang tua, hehe.

Lalu kisah si duo botak juga tak kalah mengharukan. Kehidupan pertemanan kadang kayak apa yang digambarkan si duo botak. Mau se-soulmate apapun kita berteman, ada aja yang bikin kita pisah, terutama dalam menentukan perjalan hidup. Ada yang mau kesono, ada yang mau kesini, kesitu dan seterusnya, sampe mencar masing-masing. Gak ada yang bisa disalahkan memang. Namanya juga manusia, manusia itu terus mencari. Kadang kita mau ngejalanin ini semua bareng-bareng tapi hati maunya sendiri. Tapi, akhir-akhirnya tetep aja kita sebenernya hanya orang-orang yang bakal rindu ikatan yang udah pernah ada, sekusut apapun itu. Hal-hal kayak gini berlaku sih buat semua hubungan, mau pacaran, temenan, sahabatan bahkan pernikahan. Padahal raga udah pisah, terhalang bangunan dan pepohonan, tapi tetep kita adalah manusia yang rindu akan yang pernah ada.

Ada lagi yang mau aku bahas sebenernya, tentang realita pendidikan kita. Mulai dari jam masuk aja misal. Aku dulu SMA masuk jam 6.30 pagi, dan ternyata ini adalah jam masuk sekolah paling pagi di seluruh dunia, katanya. Tapi emang bener, masuk sekolah kepagian itu bisa bikin siswa stress duluan. Blom ngebayangin belajar ama guru killer, ini dah disuruh jalan jongkok kalo telat, gimana gak stress coba? 

Btw, itulah aku.
Aku suka memperhatikan hal-hal kecil kayak gini, karna aku percaya segala hal yang ada di dunia ini bisa dijadiin pelajaran. Dan pengalamanku di atas itu bener-bener membuat pagiku saat itu terasa terlalu hangat untuk air mata bertemu pipi.
Tsahhhh


 Tanpa Salam.

Pertama kali aku ada niatan buat nulis adalah saat  aku baca bukunya @shitlicious. Entah kenapa aku suka aja dengan cerita doi dalam bukunya yang berjudul Skripshit itu.
Terus pada suatu ketika aku baca blog-nya dan ada satu post-an dia yang bilang kurang lebih gini :
 "Jadi, Buku ShitLicious nggak dibuat dalam waktu singkat. Iya, berawal dari minat gue yang bawaannya suka cerita, gue jadi suka nyeritain apapun yang gue alami setiap saat kepada orang2 sekitar. Karena hobby itulah, gue jadi demen buat nulis. Karena apa? karena kalo kita cerita secara lisan, suatu saat orang bisa aja lupa ama apa yang udah kita bicarakan sebelumnya. Tapi kalo kita mau menuliskan cerita kita, orang nggak bakal lupa karena mereka pasti memperhatikan setiap detail tulisan kita."

Lalu aku jadi teringat dengan kata-kata salah satu penyair kenaamaan Indonesia; Pramoedya Ananta Toer, beliau bersabda dalam bukunya "Bumi Manusia", yang bunyinya :
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." 

WEW! Menulis adalah bekerja untuk kebadian...
Apa sebenarnya maksud kata-kata ini?
Apakah maksudnya ketika kita menulis maka kita enggak bisa mati gitu?

Emm.. ini mungkin, tapi menurutku maksud kata-kata itu adalah bahwa mbah Pram menyadari betul kalau kita adalah makhluk yang fana, dan pada saatnya nanti kita terkubur dalam tanah, tubuh kita pun akan hancur, tapi tidak dengan tulisan di BATU NISAN!
Aha! Iya, pada hakekatnya tulisan di batu nisan akan abadi bukan? Tapi masuk agak dalam ke bawah, ternyata terdapat proses pembusukan tubuh kita menuju kehancuran. (Ia akan hilang didalam masyarakat)
Bahkan ketika 10 sampai 20 tahun (atau selamanya?)  kedepan tulisan-tulisan itu masih terpampang nyata dalam batu nisan. Dan secara tidak langsung kita telah mencetak sejarah kita sendiri bahwa kita pernah dan telah mati di tempat ini pada tanggal ini, dst.

Heuheueheu
Jangan panas dalam dulu baca tulisan di atas ya...

Mbah Pram memang benar, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Kenapa bekerja? karena dalam prosesnya kita menulis, kita mengeluarkan cukup banyak tenaga dan pikiran.
Nah... inilah keabadian yang kita cari; pemikiran.

Contoh nyata dari keabadian pemikiran yang ditulis adalah mbah Pram itu sendiri. Karya-karya beliau sampai sekarang masih hidup dalam masyarakat. Lebih dari 50 karya telah dihasilkan oleh beliau dan bahkan menurut wikipedia karya-karya tersebut telah diterjemahkan dalam 41 bahasa.

Benar kata bang Alit aka @shitlicious, buah pemikiran yang kita tuangkan dalam bentuk lisan akan mudah untuk terlupakan. Artinya kalo misal ada orang ngomong tentang sesuatu dan karna satu dan lain hal kita lupa akan kata-kata orang tersebut, maka kemungkinan untuk kita bisa tau secara detail kata-kata tersebut dengan berusaha mengingatnya sangat kecil. Atau bahkan ketika kita ingin mendengar lagi kata-kata tersebut dari orangnya langsung juga banyak batu kerikilnya, misal dia udah mati. Jadi, hilang sudah pemikiran cemerlang dari orang tersebut.

Tapi, ketika negara api menyerang pun, tulisan tetap abadi.
Bener, Socrates aja yang gak pernah menghasilkan karya tulisan buktinya masih tetap hidup dalam masyarakat berkat tulisan murid-muridnya, di mana salah satunya adalah Plato.
Artinya, tulisan Plato-lah yang membuat Socrates ada sampai sekarang. Socrates yang lahir 470 SM ini ternyata namanya serta pemikirannya masih ada dalam kehidupan masyarakat, bahkan akhirnya kutulis dalam artikel ini di tahun 2016 | 470 SM - 2016 = lama -- abadi.


Yhaaa..
Pada intinya aku seneng nulis. Di samping itu aku juga seneng baca. Tapi, tidak jarang juga aku tertarik untuk mendengar. Maka dari itu aku memulai mbikin blog ini untuk sekedar menuangkan apa-apa saja pengalaman yang telah aku tulis, baca dan dengar dalam bentuk tulisan, karna;
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.



Next PostNewer Posts Home