Saintho Valentino's

Personal Blog


Gimana ya. Waktu Part 1 ditulis, itu aku berada didalam masa sebelum pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Tapi sekarang sudah lewat jauh, hehe. Malah sekarang udah mau Pilkada serentak lagi.
Waktu aku nulis Pilkada Jakarta itu sebenarnya aku mau memberikan pandanganku kedepannya bagaimana kemungkinan besar akan terjadinya putaran kedua, lalu masalah penistaan agama yang tampaknya punya andil cukup besar dalam Pilkada yang paling banyak ‘ditonton’ masyarakat Indonesia kala itu. Bagaimana tidak, ketika Pilkada SERENTAK 2017 dilaksanakan, semua mata tertuju pada dinamika yang terjadi di Jakarta. Media menggoreng-goreng berita sampai krispi diluar dan lembut didalam tentang para Paslon. Tak sampai situ saja. Bahkan pendukungnya pun ikut-ikutan berinisiatif saling kukus-mengukus, rebus-merebus dan panggang-memanggang berita. Padahal Pilkada serentak gelombang kedua pada tanggal 15 Februari 2017 itu diikuti 101 daerah. Tujuh diantaranya adalah pemilihan kepala daerah provinsi. Bukankah semua daerah itu sama pentingya bagi Bangsa ini?  Sungguh aneh kita. Tapi kayaknya sudah menjadi klise kalau aku mau membahas itu semua lagi. Mungkin kali ini aku akan membahas bagaimana kita bersikap terhadap fenomena-fenomena yang diakibatkan Pilkada ini.

Pak Anies-Sandi adalah pelayan Jakarta yang dipilih untuk lima tahun kedepan. Dalam tulisanku sebelumnya aku menyebut mereka sebagai duo CePu (Cendikiawan-Pengusaha). Duo yang sangat ideal sepertinya. Cendikiawan adalah yang masyarakat butuhkan untuk menjaga tata kehidupan masyarakat Jakarta yang warna-warni. Pengusaha tentu sangat berguna pengalaman dan pengetahuannya dalam pembangunan (bukan proyek lho ya) infrastruktur dan masyarakat. Tapi aku memberi peringatan. Bagaimanapun ia dulunya, ketika masuk ke ranah politik maka hanya Tuhan dan --pimpinan-- partai yang tahu isi hati dan pikirannya. Juga aku mewanti-wanti bagi barangsiapa yang telah berkompromi dengan Partai Politik maka wajib dipertanyakan maksud dan tujuan termurninya.
Pada bulan Juni 2018 nanti, akan diselenggarakan Pilkada serentak lagi. Tapi, ya tidak jauh-jauh dari pembahasan diawal tentang ‘tontonan massal’ Pilkada Jakarta. Pun dari banyaknya daerah yang akan melakukan Pilkada 2018, hanya Pilkada trio Jawa-lah yang selalu hangat dibahas.

Oh Pulau Jawaku, tak hentinya kau berselancar di kobaran api.

Pilkada tahun ini sangat beragam dan gado-gado. Paslonnya juga ibarat menu makanan, ada yang paket regular sampai paket spesial. Mengenai dinamikanya, aku tak terlalu mengikuti. Mungkin kuota kebodohanku sewaktu mantengin kasus penistaan agama tahun lalu sudah banyak habis terpakai, sampe-sampe aku seperti sudah tidak gairah lagi mengikuti perkembangan Pilkada tahun ini.

Hehe. Kuota kebodohan.

Ehm, gimana ya. Setelah aku melakukan Spritual Review ke Mahkamah Perenungan, kudapati ternyata gonjang-ganjing Pilkada Jakarta itu hanya menghabis-habiskan waktu saja. Jujur, bagiku semua yang terlibat dalam fenomena kasus penistaan agama kemarin itu sama-sama salah, sama-sama benar. Masalahnya adalah kita lupa dengan dua spektrum mendasar berketuhanan kita yang lain; kebaikan dan keindahan. Aku tidak menemukan kebaikan apalagi keindahan dari dinamika Pilkada Jakarta kemarin.

Yang aku simpulkan dari fenomena-fenomena bangsa ini adalah bagaimana ternyata hidup ini amat sangat kompleks, tapi kita dipaksakan mengikuti polemik perpolitikan yang sebenarnya tidak lain hanyalah akting semata (mengenai ini nanti aku akan bahas dalam tulisanku tentang Spiritual Review). Sebagaimana kita juga. Ucapan ‘dunia ini panggung sandiwara’ adalah benar adanya. Kita sedang memainkan peran kita masing-masing. Skrip kehidupan ini telah Tuhan tetapkan, tetapi kita diberi anugerah untuk menjalankan pertunjukkan kita dengan alur hati dan pikiran yang sesuai diri kita. Jadi jangan sia-siakan pandangan dan pikiran kita pada hal yang kelihatan saja, macam politik ini. Coba kita mulai melihat hal-hal yang tak terlihat; menyentuh hal-hal yang tak tersentuh.
Maka dari itu aku menyerukan kepada semua yang membaca tulisan ini agar kita berdoa:
Semoga Pilkada serantak tahun ini bisa tampil beda dengan tidak menggunakan senjata pemecah belah. Semoga masyarakat tetap rukun dengan pilihannya masing-masing. Semoga kita memilih dengan kebaikan hati dan penguasaan pikiran. Semoga pelayan-pelayan yang kita sebut Kepala Daerah dapat melayani masyarakat sebagai tuannya dengan kehati-hatian dan kebijaksanaan. Semoga kita berdemokrasi untuk Tuhan. Amin.


Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home